Hukum Menerima Pembayaran Hutang Dengan Uang Haram
Assalamualaikum Ustadz, saya mau bertanya, kebetulan saya mempunyai usaha perdagangan, dan kebetulan mempunyai seorang pelanggan yang termasuk pembeli yang paling banyak belanja ditempat saya. Tetapi belakangan menurut berita yang beredar, baru saya ketahui kalau beliau adalah pengusaha yang memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan yang haram,, Pertanyaan saya adalah apabila pelanggan tersebut belanja di tempat saya menggunakan uang yang diperoleh dari pekerjaan/usaha yang haram, yang mana uang tersebut adalah uang haram, apakah uang tersebut hukumnya haram bagi saya, padahal uang tersebut untuk pembayaran barang yang saya jual? Terimakasih. Wa alaikumus salam wr wb. Para ulama berbeda pendapat pendapat tentang status menerima unag haram yang memang sudah diapstikan keharamannya. Yang dimaksud sudah dipastikan keharamannya adalah bahwa uang tersebut didapat dari cara yang tidak halal. Misalnya menerima uang hasil curian yang memang kita tahu secara pasti bahwa uang itu hasil curian. Sedangkan jika baru sebatas dugaan atau rumor, statusnya belum jelas. Karena belum jelas, fiqh menghukuminya secara zahir, bahwa uang itu adalah uang bersih atau bukan didapatkan dari cara yang haram. Mengenai uang yang sudah dipastikan keharamannya, para Ulama berbeda pendapat;
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengasuh rubrik Konsultasi ZIS Majalah Peduli yang saya hormati. Saya mohon penjelasan, apakah boleh kita bersedekah atau berzakat menggunakan uang haram ? Kalau boleh, apakah bisa uang haram disucikan agar bisa menjadi halal dan bisa disedekahkan? Sekian, dan terimakasih atas jawabannya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Misbahul Munir, Pasuruan, 08127845xxxx
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Misbahul Munir yang terhormat. Dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa Allah itu adalah Dzat yang baik, dan tidak menerima suatu ibadah atau suatu amaliah kecuali yang baik-baik saja. Karena itu, Allah tidak akan menerima sedekah atau zakat yang dibayarkan dengan dengan harta yang haram. Bahkan orang yang melakukan hal seperti ini, doa-doanya tidak akan diterima oleh Allah. Bahkan al-Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa ongkos pekerjaan yang berhubungan dengan maksiat itu pekerjaan haram adalah haram juga, dan mensedekahkannya juga tidak boleh dan tidak sah.
Al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab juga menukil pendapat dari al-Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki harta yang haram dan ingin bertaubat, maka jika pemilik harta tersebut masih hidup, wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau wakilnya, dan jika pemiliknya sudah meninggal dunia maka harta tersebut diberikan kepada ahli warisnya, dan jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hendaknya dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum, semisal untuk membangun masjid.
Berdasarkan uraian di atas, berarti diperbolehkan membangun masjid dengan harta yang dihasilkan dari pekerjaan yang haram, seperti harta yang dihasilkan dari penjualan minuman keras, dan hal tersebut dilakukan bukan dalam rangka sedekah, namun sebagai bentuk taubat seseorang yang memiliki harta haram.
Kesimpulannya, bahwa tidak sah sedakah atau zakat dari harta haram. Kemudian jika si pelaku yang memiliki harta haram itu ingin bertaubat, maka harta tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya atau wakilnya. Jika pemiliknya sudah wafat, maka serahkan pada ahli warisnya. Namun jika tidak ada, maka harta tersebut ditasarufkan pada kemashlahatan muslimin. Tasaruf ini tidak dikatakan sedekah, namun bentuk pembebasan diri dari harta haram tersebut. Selengkapnya, silakan merujuk pada kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (III/104), al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (9/351), dan Ihya’ ‘Ulumuddin (II/91). Wallahu a’lam bish-shawab.
Dalam konteks Islam, sedekah adalah tindakan mulia yang sangat dianjurkan dan memiliki banyak keutamaan. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana hukum sedekah jika dilakukan dengan uang yang diperoleh secara haram? Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai hukum sedekah dengan uang haram, dengan merujuk pada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis serta pandangan para ulama.
Solusi dan Alternatif
Jika Anda memiliki uang yang diperoleh secara haram, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
Sedekah adalah amalan mulia yang dianjurkan dalam Islam, namun untuk mendapatkan pahala dan keberkahan, sedekah harus dilakukan dengan harta yang halal. Harta yang diperoleh secara haram tidak layak digunakan untuk sedekah, karena amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memastikan bahwa setiap amal perbuatan dilakukan dengan cara yang benar dan dengan sumber yang halal.
Dengan memahami hukum sedekah dengan uang haram, kita dapat lebih berhati-hati dalam mengelola dan menggunakan harta kita agar sesuai dengan ajaran Islam dan memperoleh ridha dari Allah.
#SahabatHebatLaju saudara mari sucikan harta mu dengan sedekah dengan cara KLIK DISINI
Atau dengan klik gambar di bawah ini:
DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum Wr Wb.
Saya seorang dokter dan sering melayani pasien yang diketahui bekerja di lembaga keuangan konvensional atau sejenisnya. Apakah boleh bertransaksi dengan orang yang sumber pendapatannya tidak halal tersebut? Apakah pendapatan yang saya terima halal? Mohon penjelasan Ustaz! -- Iqbal, Aceh
Waalaikumussalam Wr Wb.
Transaksi dengan kondisi seperti dalam pertanyaan menjadi realitas transaksi baik di bidang keuangan ataupun sektor riil. Untuk memastikan sumber pembayaran dari tempat usaha yang halal itu boleh jadi pada sebagian kondisi sulit diwujudkan. Jawaban ini walaupun tidak membahas aspek-aspek selain fikih, mudah-mudahan bisa memberikan penjelasan pendahuluan dari sudut pandang fikih.
Jika ditelaah, ada perbedaan pandangan dalam fikih di antara para ulama salaf, khalaf, ataupun para ilmuwan syariah kontemporer antara yang memilih pandangan prudent (hati-hati) dan berkesimpulan bahwa ini tidak boleh serta pandangan yang membolehkan dengan beberapa syarat. Saya memilih pandangan kedua yang membolehkan dengan syarat.
Bertransaksi dengan pihak lain dengan sumber pembayaran dari usaha yang tidak halal itu diperkenankan selama ketentuan fikih akad dan adabnya terpenuhi serta memenuhi aspek risiko dan peraturan perundang-undangan. Walaupun bagi penjual itu diperkenankan dan transaksinya sah, tidak berarti membenarkan (menghalalkan) usaha tidak halal si pembeli yang menjadi sumber pembayaran tersebut.
(a) Memenuhi ketentuan fikih transaksi serta adabnya. Di antara referensi suatu transaksi diperbolehkan atau tidak adalah peruntukannya dan objek yang diperjualbelikannya.
(b) Mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan aspek risiko. Oleh karena itu, selama bertransaksi dengan orang lain yang sumber pendapatannya tidak halal seperti para pegawai di lembaga konvensional dan para pegawai di pabrik rokok itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara fikih itu diperkenankan.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada dalil dan penjelasan berikut:
Pertama, sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadis tersebut, Rasulullah melakukan transaksi tidak tunai dengan non-Muslim dan memberikan baju besinya sebagai kolateral. Ini juga menunjukkan kebolehan bertransaksi dengan orang lain dengan sumber pembayaran yang tidak diketahui halal atau haram. Karena non-Muslim tidak memiliki parameter halal dan haram saat bertransaksi.
Kedua, pandangan sebagian ulama bahwa jika tidak diketahui komposisi dana halal dan yang tidak halal, diperlakukan sebagai dana yang halal. Sebagaimana penegasan an-Nawawi, “Jika terjadi di suatu tempat, dana haram yang tidak terbatas bercampur dengan dana halal yang terbatas, dana tersebut boleh dibeli, bahkan boleh diambil kecuali ada bukti bahwa dana tersebut bersumber dari dana haram. Jika tidak ada bukti, tidak haram" (al-Majmu, 1/342).
Sebagaimana juga penjelasan Ibnu Taimiyah, “Adapun orang yang bertransaksi secara ribawi, yang dominan adalah halal kecuali diketahui bahwa yang dominan adalah makruh” (Majmu’ al-fatawa, Ibnu Taimiyah, 29/268).
Ketiga, memudahkan. Transaksi dengan sumber pembayaran dari usaha yang tidak halal seperti para pegawai bank konvensional yang mengajukan pembiayaan untuk rumah sebagai tempat tinggal mereka itu menjadi realitas. Sebaliknya menutup pilihan ini (tidak membolehkan) itu menyulitkan (masyaqqah) bagi mereka. Hal ini sebagaimana kaidah ‘umum al-balwa (sesuatu yang sulit dihindarkan) dan kaidah raf’ul haraj wal hajah al-‘ammah (meminimalisasi kesulitan dan memenuhi hajat umum).
Sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW, “Jika ada dua pilihan hukum, Rasulullah SAW memilih hukum yang memudahkan selama pilihan tersebut bukan dosa" (HR Bukhari). Wallahu a’lam.
Hukum Sedekah dengan Uang Haram
Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah bahwa amal perbuatan harus dilakukan dengan cara yang baik dan dengan sumber yang halal. Dalam konteks sedekah, menggunakan uang haram tidak sesuai dengan prinsip ini.
Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis:
Konsekuensi dari Sedekah dengan Uang Haram
Melakukan sedekah dengan uang yang diperoleh secara haram memiliki beberapa konsekuensi serius:
Definisi Sedekah dan Uang Haram
Sedekah adalah pemberian atau infak yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dengan niat ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah. Sedekah tidak terbatas pada harta saja, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, atau ilmu.
Uang haram, di sisi lain, adalah uang yang diperoleh dari sumber yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Ini termasuk hasil dari riba, perjudian, korupsi, atau bisnis yang melibatkan barang haram seperti alkohol atau daging babi.
Pandangan Para Ulama
Para ulama sepakat bahwa sedekah dengan uang haram tidak diterima oleh Allah. Ini berdasarkan pada prinsip bahwa amal perbuatan harus dilakukan dengan cara yang baik dan dengan sumber yang halal. Berikut adalah beberapa pandangan dari ulama terkait hal ini: